Rabu, 31 Desember 2014

“Tahun Baru Masehi”, Dalam Pandangan Islam dan Sejarahnya



TAK terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun. Beberapa saat lagi tahun 2011 akan menjadi kenangan dan tahun 2012 akan menyambut kita semua. Malam pergantian tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.



Berbeda halnya dengan pergantian tahun baru hijriah, banyak masyarakat yang tidak merayakannya, bahkan sekadar tahu saja mereka mungkin tidak. Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknainya.


Kita lebih dituntut untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan pada tahun sebelumnya, dan diharapkan lebih baik pada tahun selanjutnya. Sungguh ironis, hal tersebut terjadi di bumi Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masyarakat lebih mengenal dan menantikan detik-detik pergantian tahun baru masehi.


Melihat fenomena tersebut, penulis merasa tergugah untuk sedikit mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap tahun baru masehi.


Sejarah tahun baru masehi


Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.



Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).




Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.


[Janus.jpg]Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.


Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.



Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.



Pandangan Islam


Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”


Dalam ayat tersebut terdapat kata “al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah). Menurut Ulama Tafsir, maksud al-Zur adalah perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas dari pada ayat ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum muyrikin.


Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya bagi setiap kaum (agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam perayaan). (Fathul Bari, 3/371).


Dalam adat masyarakat Aceh yang identik dengan nilai-nilai Islam, dulu hanya merayakan peringatan hari besar Islam saja seperti perayaan maulid dan tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi dan dihidupkan dengan dalail khairat di balee dan meunasah.


Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat Aceh, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.



Sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Toh, kita semua ini manusia yang harus taat dan menjunjung tinggi aturan Allah. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?

Muftahuddin H. Lidan, Serambinews.

Aceh di Mata P.J Veth

P.J Veth 1814-1895
Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah...” (P J Veth)
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P. J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.


Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.



Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.


Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.


Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.


Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.


Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.


Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.


Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.


Sultanah yang Taat


Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. "…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…"



Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. "… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…".


Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.


Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.


Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.


Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.


Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mirat al-Tullab atau, lengkapnya, Mirat al Tullab fi Tashil Marifat ahkam al-syariyyah li al malik al wahhab yang kurang lebih berarti Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara Allah. Kitab ini diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.



Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. " Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei Radiallahuanhu…"


Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.


Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri, prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.


Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.


Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas ) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.


Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta al“Alam, sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.


F.W Stammeshaus dalam tulisannya Atjehshe Munten menulis, jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti yang telah dikemukakan.



Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut. "… di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang pekarjaanya…"


Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam "Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh. Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik kerajaan yang menghiasi istana.


Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.


Administrasi Kerajaan


Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.


Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut "Balai Musyawarah" (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.



Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.

Iskandar Norman

G30S/PKI dalam Berbagai Versi

Januari 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta mere-bak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan kupon pemerintah deng-an minyak goring, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilai-nya (Tobing 2001).

Begitulah setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965. Keadaan ekonomi negara dan rakyat semakin buruk tiap tahunnya, setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang membuat seluruh bangsa terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan rezim yang berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang “terkutuk”, terku-tuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Peristiwa pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa da-lam perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi. Bahkan pada waktu-waktu berikutnya ada 500.000 – 1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar peristiwa tersebut. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung Karno dari tampuk kekuasaanya.

Sampai sekarangpun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah pada tahun 1996 telah menerbitkan secara resmi mengenai peristiwa tersebut dalam satu buku. Tetapi hal itu tetap tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar kalangan, karena masih terdapat banyak kejanggalan. Sehingga banyak buku-buku lain yang terbit yang menceritakan sisi lain dari peristiwa tragis tersebut.

Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi yang menyangkut peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi dari pemerintah, maupun dari kete-rangan saksi dan pelaku yang dituduh terlibat dalam gerakan tersebut, juga dari tulisan repor-tase dari beberapa wartawan.

Versi Buku Putih

Pada tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku yang mencerita-kan kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara sistematis. Buku itu menjadi satu-satunya sumber sejarah resmi yang diterbitkan negara menyangkut G30S, yang dikenal deng-an sebutan buku putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya adalah presiden yang ber-kuasa saat itu Soeharto.

Awalnya menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Isu Dewan Jenderal diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membentuk citra buruk terhadap pimpinan AD di mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI.

Pada sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mere-but kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966.

Dokumen itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen itu diberikan kepada Bung Karno (BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan seluruh panglima angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani membantahnya.

Menurut buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965, pelatihan pasukan su-karelawan dilakukan secara intensif dan massif dengan alasan untuk memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau Omar Dani. Penyelenggaraan pelatihan tersebut dipusat-kan di Lubang Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat besar dalam kegiatan ini, karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang TNI-AU.

Selanjutnya pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.

Secara struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa pimpinan tertinggi gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit, karena memang selain di Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Sementara untuk komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut terbagi dalam tiga pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan Pasukan Bimasakti.

Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-por kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S.

Perintah untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di atas hidup atau mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal dengan kurangnya koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun koordinasi antara pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran gerakan tercapai kecuali Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh nyawa putrid Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre Tandean.

Diceriterakan betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan da-hulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief.

Pada paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD diculik oleh suatu gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berusaha meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan yang dicurigai dikendalikan oleh Partai Komunis Indone-sia (PKI). Dalam proses pencarian korban penculikan, pengendalian keamanan ibukota, sam-pai pada proses penumpasan inilah terlihat jelas betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.

Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00.

Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya dilan-jutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya atas perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat pembuangan mayat korban penculikan, dan benar.

Versi Wartawan

Di bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan Kompas bernama Maruli Tobing (2001), yang dimuat dalam buku Dialog Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seper-ti yang dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya membenci kehadi-ran PKI di kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya terhadap BK tidak sama.

Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta ter-hadap BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan bantuan dana satu juta dollar AS untuk partai yang anti-PKI dan anti-Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong untuk membia-yai kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga merupakan salah satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.

Dalam kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambilalihan kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.

Kapan rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B. Johnson Library dengan nomor control 16687 itu menyebut, beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan,

Dalam tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas tergadap Bung Karno. Yang oleh sebagian jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusaka persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.

Versi Saksi dan Pelaku

Versi ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi para saksi dan pe-laku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul Saksi Dan Pelaku Gestapu (2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku G30S yang pernah diadili di Mahmilub dan menekan di penjara selama puluhan tahun, lebih menekankan pada pengaruh Soeharto.

Bahwa hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad saat itu sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan pemberontkan. Bahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut se-bagai konseptor gerakan tersebut. Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku tersebut yang dimuat petikan wawancara dan kutipan otobiografinya yaitu, May-jen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru Atmodjo, Kolonel Latief, Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend. A.H. Nasution.

Seperti yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa ia merupakan wakil dari pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada persidangan di Mahmilub ia divonis penjara seumur hidup, se- telah pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol. Latief akhirnya dibebaskan bu- lan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33 tahun 5 bulan dipenjara.

Bahwa dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah melapor ke Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana menghadapkan tujuh jen-deral kepada presiden.

Pada 28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk menanyakan isu Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah mengetahuinya melalui anak buahnya dari Yogya, Bagio. Menurut informasi yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap BK. Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut, dan selesai.

Ini setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah mengetahui bahwa aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan Jenderal. Dan rencana me-nghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK. Tetapi Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad tidak mengambil tindakan apapun.

Mana Yang Benar?

Dari ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang paling dapat diperca-ya. Karena memang tidak mungkin semudah yang dibayangkan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sementara masih banyak rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh AD sendiri terdapat dua faksi yang anti dan pro terhadap Soekarno, sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan sendirian kudeta tersebut.

Akhirnya faksi yang anti-Soekarno mau tidak mau harus mencari bantuan asing yang dirasa berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu tidak lain Amerika Serikat. Dan kebe- tulan karena ada gerakan pemberontak dari orang-orang yang mencintai Soekarno dengan sepenuh hati yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang tidak loyal. Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang notabene merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing hitamnya.

Referensi

Lesmana, Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu, Media Pressindo: Yogyakarta.

Oetama, Jakob, et al, 2001, Dialog Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun, Kompas Media

Nusantara: Jakarta.

1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Sekretariat Negara

RI: Jakarta.
Ekamara Ananami Putra

Selasa, 30 Desember 2014

Meutia, “Perlawanan Hingga Tetesan Darah Penghabisan”



Ada sebuah Pameo yang mengatakan bahwa,"Wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi" tidak selamanya benar. Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, Pahlawan wanita Aceh ini, terus berjuang melawan Belanda hingga tetes darah penghabisan diterjang tiga peluru bersarang di tubuhnya.


Perjuangan wanita dan kancah peperangan telah memberi warna tersendiri dalam sejarah perjuangan Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan pejuang wanita lainya. Peran mereka sangat besar, tak pernah ada rasa takut gentar mendampingi suami ke medan perang, meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya di dalam hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga namun semangat mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama.
...Wanita Aceh gagah berani adalah penjelmaan rasa dendam terhadap Kolonial Belanda yang tak ada taranya sertatidak mengenal damai. Jika ia turut bertempur maka tugas itu dilaksanakandengan suatu energi yang tak kenal maut dan mengalahkan prianya... (H.C.Zentgraaff, 1983: 78).
Tulisan tentang perjuangan Cut Meutia disajikan secara lengkap perjuangannya agar para generasi muda khususnya dan masyarakat umum untuk membacanya. Sikap patriotis yang dimiliki Cut Meutia patut diteladani serta terus menerus ditumbuhkan dalam diri generasi muda dan masyarakat sehingga sikap bela bangsa dan negara dapat terbina dalam rangka untuk mengisi pembangunan yang sedang terlaksana.



Latar Belakang Kehidupan Meutia


Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 oranganak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.



Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia (berarti mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
"...Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang Semampai dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan siluewue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut)dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar benar seorang bidadari ." (H.C. Zentgraaff, 1983: 151).
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak.


Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namunla mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Pertentangan-Pertentangan pendirian yang semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan Teuku Chik Bintara.



Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama ia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Ialah sesungguhnya pria yang sangat dicintainya.


Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong


Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak-porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat persenjataan pejuang muslimin.



Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyama sebagai penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1901-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.


Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.


Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.


Pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang mengintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 42 pucuk senapan.



Gerakan sabotase-sabotase dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivak-bivak seperti di Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu.


Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dariperistiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari1905). Peristiwa tersebut diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat bagi pemerintah Belanda. Didalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan mata-mata Belanda bahwa Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe di putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah menjadi hukuman tembak mati.


Pelaksanaan hukuman tembak mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah ;
"...Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan." (lsmailYakub, 1979: 49).



Perjuangan Cut Meutia bersama Pang Nanggroe


Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah dengan Pang Nanggroe, pria yang ditunjuk dan diamanahkan suaminya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nanggroe adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.


Penyerangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe - Cut Meutia dimulai dan hulu Krueng Jambo Aye suatu tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerahtersebut merupakan daerah hutan liar yang banyak tempat tempat persembunyian pasukan Pang Nanggroe - Cut Meutia sering melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi danbivak pasukan Belanda dimana banyak terdapat para pejuang muslimin yang ditahan sekaligus membebaskan mereka dengan demikian penyerangan-penyerangan itumembuat pasukan Belanda marah dan gusar.



Pada tanggal 6 Mei 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak-bivak yang mengawal para pekerja keretaapi. Dan hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi (H.C. Zentgraaff,1983:160); Muhammad Said; 1983:269.


Pada tanggal 15 Juni 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia menggempurkembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan 8 orang luka-luka dan kehilangan 1 pucuk senjata (H.C. Zentgraaff, 1983: 160).


Pertengahan 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, terjadi lagi bentrokan danpertempuran senjata yang sengit, pasukan muslimin melakukan taktik serang dan mundur. Pasukan terus bepindah-pindah sampai ke daerah Peutoe, menyebabkan pasukan Belanda sulit untuk melacak posisi pasukan muslimin. Penyerangan pasukan yang sedang penasaran terus dilakukan dan pada tanggal 30 Juli 1910 terjadi bentrokan senjata di daerah Bukit Hague dan Paya Surien.



Selanjutnya pada bulan Agustus 1910 terjadi lagi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya, dalam bentrokan senjata ini, banyak pejuang muslim teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia dan seorang ulama syahid, sedangkan Pang Nanggroe-Cut Meutia, anaknya Teuku Raja Sabi, dan beberapa pejuang muslimin selamat dan dapat menghindari diri dari kepungan Pasukan Belanda.


Hari kelabu akhirnya datang juga bagi Pang Nanggroe, yaitu pada tanggal 25 September 1910 di daerah Rawa dekat Paya Cicem, tepatnya di Buket Hague terjadi penyergapan dan pertempuran dahsyat, pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia mengalami pukulan hebat atas penyerangan yang dilakukan dengan gencar oleh pihak Belanda. Pada pertempuran inilah Pang Nanggroe syahid karena terkena tembakan peluru Belanda sedangkan Cut Meutia dan beberapa pejuang muslimin dapat melepaskan diri dari kepungan serta anaknya Teuku Raja Sabi juga dapat diselamatkan. Jenazah Pang Nanggroe dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon. Sebelum meninggal dalam keadaan berlumuran darah Pang Nanggroe memanggil Teuku Raja Sabi yang berada disampingnya seraya berkata ;
"Ambillah rencong yang berada di pinggangku serta pengikat kepalaku larilah cepat-cepat mencari ibumu (Cut Meutia), sampaikanlah salam perjuanganku dan teruskanlah perang Sabil, semoga kita akan bertemu nanti di akhirat. (Ismail Yakub; 1979:62).



Cut Meutia Memimpin Pergerakan


Kematian Pang Nanggroe membuat beberapa orang teman Pang Nanggroe akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.


Walaupun Pang Nanggroe suaminya sekaligus pemimpin perlawanan telah syahid menghadap Ilahi Cut Meutia tetap melanjutkan perjuangan dan perlawanan bersenjata. Untuk melaksanakan perjuangan yang berlanjut tersebut diperlukan seorang pemimpin yang tangguh dipercayai, serta disegani oleh lawan maupun kawan oleh karena itu, atas kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan pergerakan diserahkan kepada Cut Meutia. Jiwa semangat pejuang dan kearifannya muncul tatkala ia diminta untuk memimpin pergerakan dengan rasa haru dan senyum, Cut Meutia memberikan tanggapannya sebagai berikut :
"...Kalau demikian maka sekarang aku terangkan pada saudara sekalian dan Teungku-Teungku yang hadir pada hari ini dan kepada anakku Raja Sabi, bahwa, penyerahan pimpinan itu aku terima dengan penuh tanggung jawab pada agama dan negara kita, akan tetapi bila pimpinanku kurang sempurna supaya cepat ditegur, sehingga segala urusan dapat berjalan lancar dan baik dan supaya kita semua seiya sekata, bersatu hati dan tidak terpecah belah.
Janganlah dipandang kepadaku dan anakku yang masih kecil ini akan tetapi pandanglah kepada ayahnya Teuku Chik Tunong dan kepada pang Nanggroe yang baru saja gugur meninggalkan kita sekalian. Sekali lagi aku jelaskan bahwa aku seorang wanita yang kurang daya dan tenaga. Bila anakku ini telah dewasa dan sudah dapat memimpin perang, maka akan kuserahkan pipimpinan perang Sabil kepadanya dari itu peliharalah, didiklah, dan jagalah dia dengan baik-baik, semoga lekas besarlah dia untuk memimpin perang melawan kaphe Belanda pada masa mendatang." (Ismail Yakub, 1979: 68/69).
Pada tanggal 22 Oktober 1910 pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat. Besoknya (tanggal 23 Oktober 1910) pengejaran diteruskan kembali, mereka mengejar cepat pasukan Cut Meutia yang berada dipengkolan Krueng Peutoe menuju arah Bukit Paya. Perjuangan Cut Meutia besertamuslim lainnya semakin sulit, basis perjuangan terus berpindah-pindah dari daerah kedaerah yang bergunung dan hutan belantara.



Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.


Tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1910 pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang airnya dangkal terjadilah bentrokan dahsyat. Pasukan Cut Meutia tidak mungkin mundur lagi dengan semangat jihad Fisabilillah mereka maju menentang pasukan Belanda dengan keyakinan yang satu lebih baik mati syahid dari pada menyerah kaphe Belanda penjajah. Oleh karena itu posisi Cut Muetia yang tidak menguntungkan dengan sikap gagah berani dia tampil ke depan dengan rencong terhunus maju bertempur di sertai dengan semangat dan jiwa kesatria. Sebagai srikandi Aceh ia maju seperti banteng terluka dengan pekikan Allahu Akbar beliau iringi penyerangan.


Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Hanya dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Cut Meutia Syahid setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya, bersama-sama dengan beberapa pejuang muslimin lainnya serta para ulama seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh.



Menjelang ajalnya Cut Meutia sempat membisikan kepada sahabat dekatnya yang bernama Teungku Syech Buwah ;
"...Jangan bertempur lagi, strategi kalian saat ini adalah mundur dan mengatur siasat perjuangan selanjutnya karena posisi kita terlalu sulit jangan korbankan perjuangan ini, tetapi hari esok masih panjang dan berguna untuk perjuangan. "...selamatkan anakku Raja Sabi. Carilah anakku dimana sekarang, tolong pelihara dia baik-baik, mungkin ajalku akan datang di tempat ini, ....Aku titipkan anakku dalam tanganmu semoga Tuhan menyelamatkannya." (lsmail Yakub,1979: 70).
Demikian sejarah kehidupan srikandi Aceh Cut Meutia catatan sejarah kehidupannya ini hanya sebahagian kecil diungkapkan karena sebenarnya riwayat hidupnya sangatlah panjang. Sebagai pelopor pergerakan untuk menghancurkan penjajahan Belanda di tanah rencong, ia diakui oleh kawan dan lawan dia bukan saja sebagai pengatur siasat dan strategi yang paling jitu ia juga mampu tampil sendiri sebagai pimpinan perang.


Sebagai ibu rumah tangga iapun merupakan seorang wanita jujur bertanggungjawab besar kepada pendidikan dan kemajuan walaupun dia bergerilya di hutan belantara ia tetap menanamkan ajaran ketauhidan di dalam perjuangan menghancurkan kaphe Belanda sehingga kelak anaknya akan mampu juga mewarisi nilaiperjuangan orang tuanya.

Sejarah Lampung yang Terserak

Biasanya setiap ke perpustakaan, saya memang sudah menentukan buku apa yang hendak dicari, tapi kali kemarin, saya benar-benar hanya ingin berwisata pikiran. Ketika sabtu kemarin (28/1) membuang kesuntukan dengan mengacak-acak buku di perpustakaan pusat UGM, saya menemukan buku sejarah mengenai Lampung. Dari sekian kali saya membaca mengenai hal ini, baru kali ini saya takjub, karena ternyata Kotaagung, kota kelahiran saya ini merupakan tempat pertama kali sang merah putih dikibarkan di bumi Lampung oleh penjajahan Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945.

Sejarah Lampung memang masih penuh misteri karena keterbatasan data dan sumber sejarah yang akurat serta minimnya penggalian sejarah yang dilakukan para ahli sejarah. Ahli sejarah yang minat dan concern dengan Lampung kebanyakan dari luar, karena studi atau jurusan sejarah murni atau arkeologi di Lampung tidak ada, yang ada hanya FKIP sejarah yang outputnya menjadi guru.

Sejarah kuno daerah Lampung terbatas dalam sumber tradisional setempat dan sumber luar berupa babad. Dalam sumber tradisional diceritakan bahwa Lampung pada sekitar 200 tahun sebelum masehi sampai abad ke-4 masehi telah terdapat sebuah kerajaan bernama kerajaan Tumi. Rakyat kerajaan Tumi memeluk agama Budha. Selain kerajaan Tumi, di daerah ini berdiri pula kerajaan Tulangbawang, sebuah kerajaan besar yang daerah kekuasaannya meliputi daera Lampung dan Sumatera Selatan.

Pada abad selanjutnya, kerajaan yang ada di Lampung mengalami kehancuran karena diserang oleh kerajaan Chandra Gupta dari India. Rakyat dan para bangsawan kerajaan banyak yang melarikan diri dengan berlayar melalui sungai Komering dan mendirikan kerajaan baru di Siguntang Mahameru, yaitu Kerajaan Sriwijaya (Raja yang Jaya). Inilah cikal bakal dari kerajaan Sriwijaya yang mendunia, dimana letak kerajaan tersebut tercatat di Sumatera Selatan, namun mereka adalah orang Lampung yang melarikan diri.

Sementara itu, rakyat yang tetap di Lampung dan rakyat yang mengungsi ke Selatan kemudian bersatu mendirikan kerajaan baru. Pada saat itu dikenal adanya 3 orang raja yang taat memeluk agama Budha, yakni Prabu Kekuk Suik yang berkuasa di Lampung bagian Barat, Prabu Sida Sakti yang berkuasa di Lampung bagian Tengah dengan pusatnya di Gunung Rajabasa.

Berita mengenai keberadaan daerah Lampung telah disebutkan dalam babad pakuan atau babad pajajaran, yaitu yang terdapat pada syair ke-1978, 1620-1621 dan 1704. Dalam syair tersebut, diceritakan mengenai pemimpin Nusa Lampung Kidul yang gagah perkasa dan berbadan kebal senjata, yaitu Gajah Manglawu Maspanji Walungan Sari.

Pada saat itu, daerah Lampung merupakan daerah pengaruh agama Budha yang kuat, terbukti dengan diketemukannya 4 buah prasasti yaitu Prasasti Hara Kuning, Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Batu Bedil dan prasasti Ulu Belu.

Pada masa penyebaran agama Islam di Indonesia, daerah Lampung masuk dalam pengaruh agama Islam yang disebarkan oleh Syarif Hidayatullah. Masuknya agama islam ke Lampung tidak banyak membawa ketegangan dan permusuhan karena dilakukan dengan cara damai, yaitu melalui persahabatan dan hubungan darah. Syarif Hidayatullah, seorang penyebar agama islam di Cirebon mempunyai 2 orang saudara yang menjadi penguasa di Lampung yaitu Ratu Saksi atau Ratu Daerah Putih dan Ratu Simaringgai.

Hubungan baik antara Lampung dengan Cirebon terus berlanjut pada saat penaklukan daerah Banten. Pada saat itu, Maulana Hasanuddin, putera Syarif Hidayatullah meminta bantuan Ratu Daerah Putih dalam mengislamkan daerah Banten bagian barat dan menaklukkan Raja Banten, Pucuk Umum. Setelah berhasil menaklukkan Banten, sebagian pasukan Lampung ada yang menetap di Lampung. Mereka diberi tanah di daerah Anyer Selatan (Anyer Kidul) yang sekarang dikenal sebagai sebuah enclave suku bangsa Lampung di Banten, yaitu Lampung Cikoneng atau desa Cikoneng.

Peninggalan dari masa Islam di daerah Lampung relative cukup banyak diantaranya beberapa kitab Alquran tulisan tangan dan juz amma yang ditulis pada kulit kayu serta naskah kuno aksara arab dan berbahasa melayu kuno yang masih disimpan oleh beberapa kepala adat di Krui. Di Sukan Lampung Utara dan Bojong Lampung tengah diketemukan naskah Undang-undang pangeran Banten yang berisi tentang hijratun Nabi Muhammad SAW.

Lampung, Tempat Pertama Kali Belanda Mendarat?

Pada masa kejayaan kesultanan Banten, daerah Lampung menjadi kekuasaan Banten yang potensial sebagai penghasil lada dan rempah-rempah lainnya yang diincar Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1602 armada VOC mendarat di Tanjung Tirom (Lampung) tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Lampung, sehingga terjadi pertempuran di Brunai, Keteguhan dan Teluk Betung Lampung.

Perlawanan rakyat Lampung melawan VOC Belanda terus berlanjut. Pada tahun 1825, pasukan Belanda dipimpin Lavevre menyerang Lampung untuk menangkap Raden Intan. Usaha ini mengalami kegagalan bahkan Levevre sendiri terbunuh. Perlawanan ini berlangsung dalam tiga periode, yaitu Raden Intan, Raden Imba Kesuma, dan Raden Intan II. Raden Imba Kesuma akhirnya harus menyingkir ke Linggai tapi tertangkap dan diasingkan ke Pulau Timor. Raden Intan II yang menggantikan Raden Imba Kesuma melanjutkan perlawanan hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal karena penghianatan.

Pada waktu yang sama, di bagian Barat Lampung terjadi pula perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Batin Mangunan dari Teluk Semangka Kotaagung (1825-1826). Perlawanan terjadi pula di Lampung Utara yang dipimpin pangeran Indera Kesuma yang akhirnya menyingkir ke Bengkulu yang dikuasai Inggris.

Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Lampung tidak membuahkan hasil. Akan tetapi, sedikit banyak keberadan Belanda di Lampung tidak pernah bisa tenang karena rakyat Lampung terus melakukan perlawanan secara sporadis. Oleh karena itu, kedudukan residen Belanda berpindah-pindah antara lain di Menggala, Gunung Sugih, dan akhirnya di Teluk Betung.

Pemerintah Belanda di Teluk Betung dipimpin oleh Residen J. Walland, seorang Asisten Residen Bengkulu. J. Walland dipilih sebagai Residen Lampung karena telah berhasil mempelajari hukum adat Sumatera Selatan dan melakukan kodifikasi hukum adat Bengkulu, yaitu Simboer Tjataya Bengkulu.

Pemerintah Belanda di Lampung berakhir dengan datangnya tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942. Akhirnya pada 24 Agustus 1945 tentara pendudukan Jepang harus menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah RI yang baru merdeka dengan ditandai upacara penurunan bendera Jepang diganti oleh Sang Merah Putih di Kotaagung.

Demikian sekelumit hasil bacaan saya mengenai sejarah Lampung dari penelitian tentang kebudayaan masyarakat Lampung yang diteliti oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, Proyek pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat tahun 2003 yang ternyata buku ini memang tidak diperjualbelikan dan terbatas pada kalangan tertentu. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 30-1-2012.
Selvi Diana Meilinda

Minangkabau : Masyarakat Komunis Pertama di Dunia

The Father of Our Founding Fathers, Tan Malaka, pernah mengatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis yang tidak mengenal penjara. Pendapat ini bukan sekedar sindiran Tan Malaka terhadap kaum Bolsevhik Soviet yang pasca revolusi gandrung sekali memenjarakan orang. Suatu hal yang menjadi paradoks dari tujuan komunisme untuk membebaskan masyarakat dari penindasan dan keterasingan. Ucapan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu berangkat dari sebuah pemahaman mendalam tentang sistem sosial di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang peradabannya telah berlangsung dan berkembang selama beberapa abad. Ini bukanlah tesis baru tentang masyarakat Minangkabau karena sejarah telah membuktikan bagaimana surau pernah menjadi tempat pembibitan komunis sebelum kita menakar komunisme dalam tafsir tunggal anti Tuhan. Surau Jembatan Besi yang menjadi episentrum pendidikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang adalah salah satu tempat yang paling aktif sebelum penindasan komunis oleh pemerintah kolonial 1926. Tetapi apakah sejarah komunis di Minangkabau hanya sebatas gelora masa-masa bergerak sebelum exorbinte rechten memberi kebebasan pada pemerintah kolonial untuk membuang setiap kata “tidak” ke neraka Boven Digoel? Ternyata tidak, komunisme di Minangkabau telah tumbuh dan berkembang bahkan sebelum teori itu dicetuskan.

Lewat metodogi materialisme sejarah, Karl Marx menyatakan bahwa yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran masyarakat, atau apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya. Tetapi keadaan riil masyarakat itu sendiri yang mencerminkan kondisi dan situasi hidup masyarakat. Sejarah terbentuk dari fakta-fakta yang nyata bukan gagasan abstrak yang pada akhirnya menggiring pada kesadaran palsu dimana kelas tertentu dalam masyarakat menggunakannya sebagai dalih untuk menguasai kelas lainnya. Cikal bakal monarki absolut seringkali muncul dari keyakinan palsu bahwa seorang raja adalah perwujudan Sang Pencipta dalam raga manusia. Masyarakat menerima takdirnya sebagai hamba dari penguasa yang ditentukan oleh garis keturunan. Dengan kesadaran yang demikian maka keluarga raja memiliki hak ekslusif untuk menguasai alat-alat produksi yang memberikan keleluasaan kepada mereka untuk terus mengendalikan masyarakat. Ketika kekuasaan semakin bertumbuh muncullah golongan bangsawan dimana para raja mendelegasikan kekuasaan atas alat-alat produksi dan wilayah kepada mereka. Elitisme ini memunculkan budaya feodal.

Sebagaimana kebanyakan kesadaran awal manusia tentang kekuasaan, masyarakat Minangkabau pada awalnya tumbuh dan berkembang dalam budaya monarki yang berakar pada interaksi sosial yang bersifat paternalistik. Dalam tambo adat alam minangkabau dijelaskan, kekuasaan di Minangkabau bersumber dari raja-raja yang diturunkan oleh Sri Maharajo Dirajo. Pada masa itu, raja menjadi sumber kebenaran. Hukum yang tertuang dalam ketentuan simumbang jauah, sigamak-gamak dan silamo-lamo memberikan gambaran kepatuhan kolektif masyarakat kepada penguasa. Pada saat kekuasaan diwariskan kepada Suri Dirajo, Hukum Tarik Baleh berlaku dimana keadilan ditegakkan dengan cara memberikan balasan setimpal untuk setiap tindakan yang dilakukan. Ini juga memberikan gambaran betapa begitu berkuasanya raja yang menyebabkan rakyat menjadi terasing dan tertekan.

Rezim monarki ini kemudian diteruskan oleh putra Suri Dirajo, Datuak Sri Maharajo. Raja ini kemudian menikah dengan putri Indahjaliah dan dikarunia dua orang anak, Sutan Maharajo Basa dan Putri Jamilan. Sayangnya, Datuak Maharajo Basa tidak berumur panjang sehingga sepeninggalnya Putri Indahjaliah menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai dan dikarunia seorang anak yang diberi nama Sutan Balun. Lebih dari enam abad sebelum Marx dan Friedrich Engels mencetuskan manifesto komunis Sutan Balun meretas takdirnya sebagai tokoh yang akan melakukan revolusi komunisme di alam Minangkabau. Tentu kita bisa berdebat, apakah dalam tempo sebelum kelahiran manifesto komunis itu semuanya hanya bisa dilabeli dengan sebutan komunisme primitif dan utopis atau jangan-jangan justru inilah komunisme ilmiah yang lahir jauh sebelum komunisme itu menjadi teori reaksi terhadap kapitalisme.

Engels menegaskan bahwa sejarah peradaban manusia adalah sejarah pertentangan kelas di antara kelas-kelas yang berkuasa dalam berbagai tahap perkembangan sosial. Pertentangan kelas hanya mungkin terjadi, menurut Marx, jika didahului oleh kesadaran kelas yang didorong oleh identifikasi diri yang sama dan solidaritas. Marx juga menjelaskan bahwa sumber pertentangan kelas adalah masalah ekonomi. Tetapi Max Weber, walaupun setuju dengan Marx, memberi sedikit koreksi bahwa pertentangan kelas juga bisa bersumber pada prestise dan kekuasaan. Dalam kasus Sutan Balun, ketika dia beranjak dewasa, muncul kesadaran dalam dirinya bahwa sebagai saudara satu ibu sang raja yang sama sekali tidak berkuasa terhadap mahkota raja, posisinya tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan. Dia mulai merasakan betapa keputusan-keputusan yang menjadikan raja sebagai daulat kebenaran tidak semuanya memberikan maslahat kepada rakyat. Walaupun terlahir dari rahim yang sama, di atas dunia Sutan Balun menyadari bahwa dia berada dalam kelas yang berbeda dengan sang raja. Untuk beberapa tahun dia membuang diri jauh dari Minangkabau, menjadi eksil untuk menghindari pertentangan.

Konon ketika Sutan Balun kembali, terjadi sebuah peristiwa unik. Anjing miliknya menggigit seorang dubalang raja. Sutan Balun didakwa di depan raja. Tetapi dalam hukum tarik baleh tercantum ketentuan, untuk setiap tindakan kejahatan harus dibalas dengan cara yang sama. Artinya dubalang raja harus balik menggigit anjing tersebut. Sutan Balun punya kesempatan menggugat kebenaran ala Sutan Maharajo Basa dan seolah-olah mengatakan bahwa raja yang senantiasa memutuskan seorang diri tidak bisa selamanya menjadi sumber kebajikan. Sutan Balun mendesakkan sebuah perubahan, ini menimbulkan kesadaran kelas di kalangan rakyat banyak dengan sebuah keyakinan bahwa karena hukum dipakai oleh rakyat banyak maka ketentuan hukum haruslah juga sesuai dengan aspirasi masyarakat banyak. Bibit-bibit demokrasi mulai tumbuh, mereka yang berhimpun dengan Sutan Balun membentuk Partai Bodi Caniago dan oleh pengikutnya diberi gelar, Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Konon dari asal katanya Bodi Caniago berarti, Budi yang curiga suatu sikap skeptis yang senantiasa mencurigai kekuasaan. Sedangkan para pengikut Sutan Maharajo Basa membentuk partai Koto Piliang yang menurut asal katanya berarti Kata Pilihan, suatu frasa yang menggambarkan sikap aristokrat yang penuh kehati-hatian. Oleh kelompok partisannya, Sutan Maharajo Basa diberi gelar Datuak Katumanggungan.

Dalam teori-teori komunisme klasik, -sebelum apa yang disebut komunisme itu muncul lewat sosok monster negara yang menakutkan-, demokrasi menjadi prasyarat penting menuju tahapan masyarakat komunisme yang bebas dari keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Demokrasi memberi ruang kepada setiap anggota masyarakat untuk menentukan keputusan ekonomi dan politik. Datuak Parpatiah Nan Sabatang menyadari untuk membebaskan setiap individu dari ketakutan dan ketaatan buta terhadap raja dia harus mampu mendorong identifikasi diri masyarakat dan sikap solidaritas yang bermuara pada kesadaran kelas Bodi Caniago. Dalam pertarungan dialektika antara dua kelompok ini kemudian terbukti Datuak Parpatiah dan Bodi Caniago mampu menyeret Datuak Katumanggungan dan Koto Piliang dalam gelombang perubahan.

Di Balai Sari Nan Tujuah Baleh Ruang, demokrasi lahir di alam Minangkabau yang mungkin tempo waktunya tidak berjarak jauh dengan kelahiran Magna Charta di Inggris. Tujuh belas ruang di balai itu dibagi tiga, Balai Nan Saruang atau satu ruang digunakan sebagai tempat merumuskan undang-undang. Delapan ruang sebelah kanan digunakan sebagai tempat perundingan. Sedangkan delapan ruang sebelah kiri digunakan sebagai tempat rakyat menyampaikan suara mereka. Datuak Parpatiah ditunjuk sebagai ketua formatur perumus undang-undang untuk menggantikan hukum raja yang sebelumnya menjadi daulat kebenaran. Dari permufakatan itu muncullah undang-undang yang didasari oleh semangat partisipasi, emansipasi dan aspirasi bernama Tuah Sakato. Pada hakekatnya Tuah Sakato adalah sebuah revolusi konstitusional yang berhasil diinisiasi oleh Partai Bodi Caniago yang mereduksi kekuasaan aristokrat Koto Piliang. Tuah Sakato menandaskan satu hal penting bahwa hukum tidak lagi bisa ditetapkan oleh raja tetapi oleh orang banyak sebab orang banyak pula lah yang akan memakai hukum itu. Maka Tarik Baleh berganti dengan Alur dan Patut.

Tuah Sakato mengubah Minangkabau dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Partai Bodi Caniago dan Koto Piliang disebut dengan istilah Lareh Nan Duo yang hidup di Luhak Nan Tigo. Dalam Tuah Sakato juga dirumuskan apa yang disebut dengan Adat Nan Dibuhua Mati dan Adat Nan Dibuhua Sintak. Adat nan Dibuhua Mati adalah ketentuan adat yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, sedangkan Adat Nan Dibuhua Sintak adalah ketentuan yang menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Ini memberi ruang kepada Datuak Parpatiah bergerak lebih jauh memaksa Datuak Katumanggungan untuk memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada setiap Nagari yang ada di Minangkabau. Dalam tambo adat alam minangkabau kita bisa mempelajari, semenjak otonomi yang diberikan itu maka nagari tidak lagi be-raja kepada daulat tetapi be-raja kepada mufakat. Negeri-negeri pada akhirnya tidak lebih dari federasi-federasi yang sekedar mengikatkan diri secara simbolik kepada raja. Revolusi secara singkat menurut Mikhail Bakunin memiliki tujuan; kebebasan bagi semua, untuk individu maupun badan-badan kolektif, asosiasi, komune, propinsi, wilayah dan negara, dan adanya jaminan bersama terhadap kebebasan ini oleh federasi Sehingga Negara, lanjut Bakunin, haruslah tidak lebih dari sebuah federasi propinsi-propinsi yang otonom.

Secara singkat memang Datuak Parpatiah telah berhasil sejauh itu tetapi angan-angannya tentang sebuah masyarakat tanpa kelas dimana negara pada akhirnya tidak lagi diperlukan belumlah tercapai. Syarat mutlak penghapusan kelas, -dan juga negara- adalah penghapusan hak milik pribadi yang sepanjang sejarah peradaban manusia senantiasa membelah masyarakat dalam kelas-kelas dimana satu kelas menguasai kelas lainnya. Kepemilikan individu, sebagaimana kepemilikan manusia primitif terhadap beberapa benda untuk berburu dan meramu, tetap diakui tetapi kepemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi penting seperti tanah haruslah dikuasai secara bersama-sama. Marx menegaskan, untuk mencapai penghapusan kepemilikan pribadi itu maka diperlukan sebuah revolusi proletariat. Dimana Marx yakin, revolusi itu akan dimenangkan oleh golongan proletariat. Dalam fase antara kemenangan revolusi dan terbentuknya masyarakat komunis maka diperlukan diktator proletariat yang bersifat sementara untuk secepatnya melakukan perubahan kepemilikan individu terhadap faktor-faktor ekonomi (dan juga politik) menjadi kepemilikan bersama. Sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat komunis idaman Marx, tanpa kelas dan tanpa negara.

Datuak Parpatiah tentu saja menyadari bahwa penguasaan aristokrat Koto Piliang terhadap tanah dan sumber-sumber ekonomi tetap saja menciptakan kelas dalam masyarakat. Bodi Caniago yang kekuatannya telah berhasil mereduksi kekuasaan Datuak Katumanggungan dan aristokrat Koto Piliang seharusnya bisa menggalang sebuah revolusi proletariat (dan hampir pasti mereka menangkan). Tetapi Datuak Parpatiah tidak hidup di dunia Eropa dimana kejahatan tampak begitu nyata disertai wajah bengis manusia Eropa yang menakutkan. Dia hidup dalam alam Minangkabau dimana pertentangan seringkali tersimpan dalam bentuk sindiran. Lagipula semua yang dia cita-citakan telah melewati fase-fasenya secara damai dan demokratis. Datuak Parpatiah tidak mungkin mengobarkan revolusi yang berujung pada pertikaian fisik apalagi pertumpahan darah. Konon di dalam tambo, selama masa eksilnya Datuak Parpatiah merantau hingga negeri Cina. Mungkin disana dia belajar fillosofi politik ala Confusius yang mengatakan bahwa negara tidak lebih dari pengejawantahan kehidupan keluarga, struktur kekuasaan negara hanyalah perluasan bentuk struktur keluarga. Confusius mengatakan bahwa anak adalah subordinat dari orang tua, begitu juga adik kepada kakak, istri kepada suami hingga kedaulatan berada di tangan seorang ayah. Dalam konteks negara istilah ini muncul dengan sebutan bapak bangsa. Budaya aristokrat dalam banyak peradaban dunia berakar dari langgam paternalisme yang mengagungkan kekuasaan laki-laki. Laki-laki lah yang menjadi sumber konflik kelas.

Datuak Parpatiah percaya bahwa keluarga adalah model dasar dari sebuah negara dengan laki-laki sebagai subjek utamanya. Dia berpikir sebaliknya, bagaimana jika perempuan yang menjadi subjek utamanya. Bagaimana jika dalam sebuah keluarga, perempuan menempati posisi tertinggi, mungkinkah konflik kelas bisa diatasi dan kepemilikan individu bisa dihapuskan. Engels mengatakan bahwa rumah tangga komunis (primitif) dicirikan oleh supremasi perempuan di dalam rumah. Hak eksklusif perempuan ini muncul karena sangat sulit bagi anak untuk mengenali orang tua laki-lakinya. Kegagalan semua revolusi komunis di dunia ini bersumber pada pemahaman bahwa yang diubah adalah kekuasaan bukan struktur masyarakat yang berasal dari keluarga. Revolusi komunis tampak seperti komedi berdarah-darah dari badut-badut Eropa yang tidak mengerti bahwa kepemilikan laki-laki terhadap kekuasaanlah yang menjadi sumber konflik sepanjang zaman. Datuak Parpatiah percaya aristokrasi bisa dihancurkan dengan mengembalikan supremasi rumah tangga kepada perempuan. Tetapi untuk melakukan semua rencana itu, dia tetap saja butuh seorang diktator proletariat.

Momentum itu muncul menjelang pertengahan abad ke-14. Adityawarman salah seorang petinggi kerajaan Majapahit yang sempat menjadi perdana menteri, dua kali menjadi utusan ke Cina serta memimpin penyerbuan ke Bali datang dengan balatentaranya. Adityawarman sebenarnya bukan orang yang asing, dia adalah sepupu jauh aristokrat Minangkabau dimana ibunya Dara Jingga berasal dari Darmasraya. Kegaduhan terjadi, tetapi Datuak Parpatiah melihatnya sebagai sebuah peluang untuk revolusi. Sebagai negara tanpa polisi (apalagi tentara) Minangkabau tidak mungkin bisa menggalang milisi untuk menghadapi Majapahit. Maka Datuak Parpatiah mencari jalan tengah yang menguntungkan Adityawarman, juga tidak merugikan Datuak Katumanggungan tetapi yang lebih penting lagi memberi jalan untuk sebuah revolusi. Dia menawarkan Adityawarman mahkota kekuasaan dengan syarat Adityawarman menikahi Putri Jamilan, adik kandung Datuak Katumanggungan sekaligus adik satu ibunya. Bagi Adityawarman yang dibesarkan oleh budaya Jawa, kekuasaan tampak seperti wangsit yang nyata, dia menerimanya. Untuk tidak juga menimbulkan kekecawaan pada Datuak Katumanggungan yang kehilangan mahkota, Datuak Parpatiah menginisiasi revolusi terbesar dalam adat Minangkabau yang disebut dengan Adat Batali Bacambua, “Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tanggo, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tanggo, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tanggo barajo kali, dirumah gadang batungganai.. Dicambua tali malakek”

Adat Batali Bacambua menegaskan terdapatnya dua kekuasaan di rumah tangga yaitu bapak dan mamak (saudara laki-laki ibu). Dimana bapak tidak lagi mewariskan kekuasaan kepada anak tetapi kepada kemenakan (anak saudara perempuan). Sedangkan suku tidak lagi diwariskan oleh bapak kepada anak tetapi dari ibu kepada anak. Secara politik ini memberikan implikasi Adityawarman tidak lebih dari diktator ploretariat sementara sebelum nantinya digantikan anaknya dengan putri Jamilan (yang notabene kemenakan dari Datuak Katumanggungan). Sehingga seolah-olah si anak nantinya menerima warisan ini bukan dari bapaknya tetapi dari mamaknya Datuak Katumanggungan. Dalam hal kekuasaan, Adat Batali Bacambua, menegaskan Adityawarman tidak pernah menjadi raja Minangkabau. Dia ibarat “abu di atas tunggul” setiap saat bisa ditiup karena sumber kekuasaan sekarang berada di tangan putri Jamilan.

Implikasi lebih luas dari adat batali bacambua adalah supremasi perempuan di atas kekuasaan bapak dan mamak. Perubahan dari patrilineal yang senantiasa menjadi sumber pertentangan kelas sepanjang zaman ke matrilineal. Kepemilikan harta keluarga berada di tangan perempuan dan kemudian dikelola secara bersama-sama. Karena fitrahnya perempuan tidak mampu mengelola harta terutama dalam bentuk tanah sendirian maka kepemilikan individu terhapuskan menjadi kepemilikan kaum, suku atau paruik. Keputusan-keputusan terkait dengan harta bersama yang disebut harato pusako itu ditentukan oleh musyawarah para mamak. Kepemilikan atas nama perempuan dengan keputusan dan pengelolaan secara kolektif ini akan menjamin tidak seorang pun dari anggota masyarakat akan mengalami keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Harta pusaka diwariskan kepada anak perempuan untuk kemudian kembali dikelola secara bersama-sama oleh para laki-laki di dalam rumah gadang. Perlahan-lahan kelas sosial terhapuskan dalam masyarakat Minangkabau sehingga feodalisme nyaris tidak dikenal dalam kebudayaan Minangkabau. Peran negara pun semakin surut bahkan nyaris tinggal sebagai mitos yang tidak menimbulkan ketakutan. Sebab pada saat kolektifisme telah menghapuskan kepemilikan individu maka kesetaraan antar manusia terciptakan. Mereka hidup di dalam Nagari-Nagari yang juga otonom dan tidak be-raja kepada daulat manapun kecuali kepada mufakat atau demokrasi. Sebelum pengaruh Aceh dan Belanda kemudian masuk, komunisme di Minangkabau bukanlah sebuah utopia. Dalam pemahaman sempit saya tentang teori-teori komunisme, revolusi komunisme Datuak Parpatiah Nan Sabatang mungkin satu-satunya revolusi komunis di dunia ini yang berhasil menghapuskan kelas dan negara. Kuncinya bukan pada gegap gempita revolusi berdarah ala badut-badut Eropa tetapi mengembalikan supremasi rumah tangga kepada kaum perempuan.

Saya tidak sedang mengagung-agungkan sebuah kebudayaan yang memang sudah terlanjur agung. Tulisan ini hanya refleksi saya terhadap sebuah suku bangsa yang tengah kehilangan identitas, Minangkabau. Yang terjadi di Minangkabau adalah kebalikan dari tesis Marx yang menyatakan komunisme akan mengalahkan kapitalisme. Di Minangkabau saat ini, komunisme (dalam batas-batas pemahaman ilmiah dan primitif yang mungkin sering juga diartikan sebagai komunalisme) terkapar oleh kekuatan kapitalisme. Masyarakat Minangkabau ciut oleh zaman yang tidak siap mereka hadapi. Supremasi perempuan di rumah tangga tergerus oleh peran bapak yang dominan karena semuanya sekarang diukur dengan materi. Para mamak seringkali menjadi pecundang di antara kemenakannya. Tunganai seringkali “bertinju” dengan Rang Sumando untuk harato pusako. Rang Rantau pulang jadi “Pamanggak” dan bukan jadi suri tauladan. Dalam banyak keluarga yang berantakan itu, masa depan Minangkabau tampaknya semakin suram saja. Bila Tan Malaka sekarang masih hidup, tentu suaranya tidak akan lagi nyaring menyatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis tanpa penjara. Minangkabau tengah sekarat.

Rico Hermawan

Tulisan ini berasal dari novelis E.S Ito.