SAUDARAKU. Kalau kita mau jujur kepada diri sendiri, sebetulnya petunjuk Allah SWT untuk kita amatlah melimpah. Kalau kita mau menyadari dan lebih teliti, ada berbagai macam kejadian yang sarat informasi. Ini karena tidak ada kejadian yang kebetulan dan tanpa hikmah.
Allah Mahadekat dan Mahatahu setiap kesalahan dan kelemahan kita. Allah Mahabaik, dan tidak ada yang lebih menginginkan kita menjadi lebih baik, selain Dia. Jika Allah jengkel kepada kita, pasti kita sudah remuk tak tersisa dari dulu.
Tetapi kita senantiasa ditolong-Nya siang dan malam, supaya kita memperbaiki diri. Dengan berbagai bentuk aral melintang, ada yang sengaja dan tidak sengaja. Baik yang enak maupun yang tidak enak. Besar atau pun kecil.
Contohnya terjepit pintu, terkunci, terpleset, gelas tersenggol dan tumpah, serta barang-barang kecil lainnya yang tanpa sengaja terjatuh atau rusak. Semuanya sarat arti dan informasi jika mau ditafakuri. Hal-hal yang biasanya kita anggap kecil itu, sebetulnya tidak kalah berarti dibanding hal lainnya yang besar. Seperti suatu hal yang membuat kita sampai harus dioperasi dan diopname.
Nah, saudaraku. Kejadian demi kejadian, walaupun dirasa kecil, harusnya membuat kita segera memeriksa diri, dan bertobat. Kita bertobat kepada Allah supaya Dia meridhai kita. Karena siapa tahu besok pagi kita mendadak meninggal.
Kalau kita tidak sadar adanya petunjuk Allah, agar kita menjadi lebih baik, maka kejadian yang dialami hanya akan membuat sengsara. Walaupun mungkin setelah mengalami sebuah kejadian kita berupaya memperbaiki diri, tapi kalau upaya kita itu bukan karena Allah, tetap saja sengsara.
Aneh jadinya kalau yang memberikan petunjuk dan yang menginginkan kita menjadi lebih baik adalah Allah, tapi kita malah memperbaiki diri untuk selain Dia. Misalnya kita terjepit pintu, dan malah berkata, “Ampun pintu, saya berjanji lain kali akan berhati-hati.”
Atau, misalkan kita terkena kotoran cicak. Lalu kita sampaikan, “Maaf cicak, malam ini akan saya hidupkan lampu di dalam rumah, pintu dan jendela saya biarkan terbuka, dan obat nyamuk saya matikan. Makanlah dengan kenyang.” Sampai pagi kita jadi sulit tidur karena dikerumuni nyamuk.
Kurang lebih begitu jika petunjuk Allah datang lewat perantara seseorang. Misalkan kita disapa, “Kang, katanya mau tobat. Tapi sudah dua bulan kok tidak ada perubahan.” Jika kita tidak sadar, maka saat bertemu dia lagi kita sengaja membaca istigfar tiga kali. Berharap dia berkata, “Alhamdulillah, sekarang akang sudah tobat betulan.” Tanpa sadar kita jadi ujub lagi, dan dosa pun bertambah. Repot.
Saudaraku. Sebenarnya kita menginginkan hidup ini seperti apa? Apakah kita mau diterima oleh Allah? Atau hanya mau berakting di depan orang, dan bertingkah aneh terhadap pintu dan cicak? Kalau mau hidup kita diterima Allah, lalu mengapa kita malah memohon ampun kepada cicak dan pintu, atau memperbaiki diri karena orang?
Walau kita merasakan perih saat terjepit pintu, dan jengkel terhadap cicak yang menempelkan kotorannya pada jemuran yang baru diangkat, namun tetap tahan rasa tidak enak itu. Tidak perlu berbalik memaki cicak maupun menendang pintu. Tapi ingatlah kepada Allah. Periksa dosa-dosa kita, dan segera bertobat.
Sekali pun kita belum bisa menerima nasihat dari seseorang, mungkin dikarenakan kata-katanya kasar atau yang disebutnya tidak sepenuhnya benar, tapi tetaplah dengarkan dan jangan menyebut alasan atau berbalik menyalahkan. Seperti, “Ah! Dia ngomong begitu, dia saja belum benar.” Karena sebaik-baik alasan saat itu bukanlah jawaban. Sebaik-baik jawaban adalah memperbaiki diri dengan tulus.
Perbaiki diri karena Allah SWT. Bukan karena ingin dinilai orang, pintu dan cicak, takut terpeleset atau gelas tumpah lagi, ataupun karena mahalnya biaya rumah sakit. Dan tidak perlu sibuk memikirkan semuanya itu. Yang penting kita tahu kekurangan dan kesalahan kita untuk diperbaiki, dan hati kita bersih. Urusan kita adalah supaya Allah meridai kita.
Kalau begitu, apakah berarti kita egois, karena misalnya hanya memperbaiki diri sendiri? Saudaraku. Kalau kita sibuk memperbaiki orang lain, tanpa memperbaiki diri sendiri, lalu apa yang bisa dicontoh orang dari kita? Dan bagaimana Allah mengizinkan? Allah yang memberi hidayah, dan Dia tahu kalau ajakan kita sebetulnya tidak cocok untuk diri kita sendiri.
Saat kita memperbaiki diri, saat itu juga kita bermanfaat bagi orang lain. Tidak memaki cicak, tidak berteriak lebay ketika terjepit pintu, tidak sibuk menyalahkan orang maupun sesuatu atas suatu kejadian, serta kesabaran dan sikap tawadlu kita saat dihina atau dipermalukan, itu pun sudah menjadi pelajaran bagi orang yang ada di sekitar kita.
Seperti doa Nabi Adam as dan Siti Hawa diturunkan dari surga ke dunia, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’râf [7]: 23).
Dalam doanya, Nabi Adam dan Siti Hawa tidak menunjuk siapa yang salah, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan tidak menyebut dan menyalahkan setan atau iblis, yang memang telah membisiki agar mendekati pohon yang telah dilarang oleh Allah SWT. Dan doa nabi Adam tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, anak cucunya. [*]
source : http://mozaik.inilah.com/read/detail/2189602/perbaiki-diri-karena-allah